Feature Story : Je t’aime Rucil...!
Rewrite by : Andi Nursaiful
Dedicated to : All Hamsters Owner

"Kenapa dia begitu kecil ya? Tapi kok lincah sekali, manjat sana sini, rusuh banget!" kata Mama waktu hamster ini tiba di rumah. Dan sejak itu aku dan mama memberinya nama "Rucil" atau si kecil rusuh!

Rucil aku beli untuk dipasangkan dengan hamster pertamaku, Buster, seekor platinum campbell. Aku minta orang petshop untuk dicarikan Campbell yang jinak untuk mengimbangi karakter Buster yang agak galak.


Petshop menawarkan beberapa pilihan. Tapi ketika seekor opal kecil yang attraktif melompat keluar kandang, naik ke tanganku dan menyapa "Hi..!" dengan tatapannya yang tak berdosa, aku langsung memutuskan: inilah jodoh si Buster.

Enam bulan berlalu, Rucil sudah punya 11 anak. Dan ternyata dia adalah "Super Mom", meskipun badannya tergolong kecil untuk ukuran hamster mini dewasa. Lahiran pertama, Rucil hanya melahirkan tiga anak. Beberapa bulan kemudian, dia lahiran lagi dan kali ini dengan delapan anak, wow!

Aku dan mama sempat khawatir, "Wah bagaimana Rucil mampu mengasuh kedelapan anak itu, dengan badan sekecil itu? Ternyata, Rucil benar-benar hebat. Bayi-bayinya dibagi dalam dua kelompok di dua sarang berbeda. Setiap sarang diisi empat bayi. Hmmm, bagaimana Rucil bisa menghitung ya?

Yang pasti, Rucil mampu mengasuh mereka dengan baik hingga tumbuh besar sampai umur empat bulan, Good job Rucil! You are a great mommy! No doubt!

Di usia empat bulan ke atas, satu dua anak-anak Rucil mulai kena bermacam penyakit. Ada yang kehilangan berat badan, ada yang kena diabetes, dan penyakit-penyakit umum pada hamster lainnya.

Sialnya, dokter hewan tak banyak yang paham soal penyakit-penyakit hamster. Mereka lebih suka menerima dan mengobati hewan yang lebih besar. Mungkin karena lebih mudah, atau mungkin juga uangnya lebih besar. Akhirnya, tak banyak yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan anak-anak Rucil, kecuali menunggu dan berdoa...!

Aku melakukan apa saja yang bisa menyelamatkan mereka. Menyuapi yang kehilangan berat badan dengan susu, rutin mengelus-elus mereka yang lesu dan kehilangan semangat bermain. Praktis, selama enam bulan aku lebih fokus pada anak-anak Rucil, dan berusaha mempertahankan hidup mereka.

Aku minta maaf pada Rucil, karena tidak mampu berbuat apa-apa terhadap anak-anak yang tidak berhasil selamat. Aku bilang, "Rucil, maafkan aku. Aku sudah berbuat semampuku...!"

Dan saat itulah aku melihat ada benjolan kecil di perut Rucil, di dekat kaki belakangnya. Masya Allah, itu tumor! Aku pernah baca, bahwa kehadiran tumor pada hamster di usia tua, adalah pertanda bahwa dia segera akan "pergi."

Mataku langsung berkaca-kaca menatap Rucil. Ia balik menatapku, masih dengan tatapannya yang tak berdosa. Tatapan yang dulu pertama aku lihat di petshop.

Sebetulnya dua anak Rucil juga meninggal karena tumor. Ketika itu, aku berkonsultasi dengan beberapa breeder dan pecinta hamster soal tumor ini. Kata mereka, tumor adalah penyakit yang sangat umum terjadi pada hamster mini, terutama pada betina usia 1 tahun ke atas, atau betina yang pernah melahirkan.

Aku disarankan untuk berpasrah saja. Kata mereka, dalam 3-6 minggu, aktivitas penderita mulai menurun drastis, dan dalam beberapa hari penderita akan passed away! Tapi kedua anak Rucil yang meninggal karena tumor, tak pernah melahirkan, bahkan mati tak lama setelah tumornya muncul. Ahh, Rucil memang hebat. Rucil adalah seorang survivor!

Aku bertekad akan berjuang habis-habisan untuk mempertahankan hidup Rucil. Aku memegangnya di depan wajahku, dan berucap: "Rucil, kita berdua akan melakukan apa saja demi kebersamaan kita. Aku janji tak akan membiarkanmu pergi begitu saja tanpa aku berbuat apa-apa..."

Aku menghubungi beberapa dokter hewan untuk berkonsultasi. Semua mengatakan tumor ini tidak bisa disembuhkan. Meskipun dilakukan pembedahan, tetap saja akan tumbuh lagi dan tumbuh lagi. Mereka menyarankan aku untuk tidak membuang-buang uang dengan sia-sia!

God damned! It's about life! How dare they said something like that!

Setelah emosiku mereda, aku berpikir, mungkin mereka ada benarnya. Dengan operasi mengangkat tumor, sama juga aku membiarkan Rucil mengalami trauma setelah pembedahan. Berusaha mempertahankan hidup rucil untuk 2-3 bulan namun dengan kondisi trauma, mungkin lebih buruk daripada menikmati waktu kebersamaan dengannya selama beberapa minggu.

Aku juga akhirnya berpikir soal biaya. Waktu operasi anak Rucil yang kena tumor, biayanya kena 400 dollar di luar obat-obatan. Anak Rucil yang lain yang juga kena tumor, meninggal hanya beberapa hari setelah pembedahan. Aku menyesal, karena seharusnya dia bisa meninggal dengan tenang di kandangnya yang nyaman, daripada menghembuskan nafas terakhirnya di inkubator klinik hewan, dengan suara, bau, dan suasana asing.

Saat itu aku menyadari bahwa menghabiskan uang tidak selalu merupakan cara untuk menunjukkan kasih sayang pada hewan peliharaan kita. Tapi kali ini, untuk Rucil, aku pikir harus ada pengecualian. Rucil terlalu berharga untuk aku sia-siakan. Terlebih, aku sudah berjanji padanya untuk berbuat apapun juga.

Kali ini aku beruntung menemukan seorang dokter hewan yang cukup paham mengenai hamster. Katanya, Rucil ini istimewa. Meskipun usianya sudah lanjut, dan kena tumor, aktivitasnya tetap normal, seolah-olah tidak terjadi apa-apa padanya.

Aku kembali bersemangat. Aku langsung bikin janji pembedahan untuk tumor Rucil dengan sang dokter. Di ruang tunggu klinik, aku ngobrol dengan pemilik hewan lainnya. Ternyata dokter satu ini terkenal bertangan dingin dan hebat dalam menyembuhkan berbagai penyakit bermacam hewan.

Kemampuan dan pengalamannya melebihi dokter-dokter hewan lain. Dan yang menarik, biaya yang dikenakan pun termasuk di bawah standar. Untuk pembedahan Rucil, aku cuma dikenakan biaya 215 dollar, sudah termasuk obat-obatan.

Aku sempat merasa malu pada diri sendiri. Untuk hewan kesayangan kok masih berhitung soal uang dan biaya. Mama yang menemaniku ke klinik, hanya mengusap punggungku.

Rencananya, Rucil dioperasi siang itu, dan kata dokter, malamnya Rucil sudah bisa pulang. Aku mencium hidung Rucil sebelum meninggalkan klinik dengan perasaan senang. Malamnya aku menelepon dokter untuk mencari tahu hasil operasinya. Aku diberitahu bahwa dokter menemukan tumor Rucil ternyata melebar sampai ke perut bagian tengah. Untuk itu, harus dilakukan dua kali pembedahan, dan otomatis dua kali biaya.

Diberitahu juga kalo setelah operasi, keadaan Rucil tak lagi bisa seperti semula. Jahitan bekas bedahnya saja begitu panjang dari kaki hingga ke dada. Bulunya dicukur habis di salah satu bagian badan. Aku diminta untuk memantaunya setiap saat, jangan sampai Rucil menggigiti jahitan lukanya sebelum benar-benar kering. Dosis antibiotik harus diberikan dua kali sehari selama proses penyembuhan.

Penjelasan itu ibarat horor buat aku. Aku membayangkan wajah Rucil yang innocent. Aku membayangkan perilakunya yang aktraktif mungkin tak lagi ada.

Benar saja. Di klinik, ketika Rucil di bawa keluar, aku tak menemukan Rucil-ku yang dulu. Aku hanya menemukan 1/3 dari Rucil yang aku kenal. Toh, aku bersyukur bahwa operasi pembedahan berjalan sukses, terlebih ketika melihat Rucil mulai bergerak dan berkeliling kandangnya.

Selama tiga hari berikutnya, aku terus memantau jangan sampai Rucil menggigiti jahitannya. Luar biasa, Rucil sama sekali tak merasa terganggu, bahkan mulai mau bermain seperti sedia kala. Ahh, rasanya bahagia sekali melihatnya seperti itu.

You are a though lady Rucil! Im very proud of you! Aku pikir, bukan cuma dokternya yang hebat, tapi justru Rucil yang lebih hebat dan tangguh!

Setelah seminggu, aku membawa Rucil ke klinik untuk membuka jahitannya. Sang dokter terlihat cukup kaget bahwa Rucil bisa pulih dengan cepat, dan semakin kaget mengetahui bahwa tak ada tanda-tanda tumor Rucil tumbuh kembali.

Beberapa minggu berlalu, dan Rucil is back! Ia kembai seperti sedia kala, aktif dan lincah bermain. Aku begitu bahagia dan bangga sudah melakukan sesuatu untuknya. Aku mengangkatnya ke depan wajahku. Tatapannya masih sama: innocent. Tapi kali ini aku merasa ada ekspresi lain yang ingin ia sampaikan: terima kasih atas kasih sayangmu!

Sembilan bulan berlalu. Sembilan bulan waktu kebersamaan yang sangat berharga dengan Rucil. Sembilan bulan penuh keceriaan dan kelucuan.

Meskipun demikian, pasca operasi, Rucil mengelami beberapa masalah lain, meskipun tidak terlalu mengganggu keceriaannya. Beberapa bulan setelah operasi, Rucil mengalmi infeksi di bagian kelamin. Ia juga mengalami infeksi di mulut. Dokter meresepkan antibiotik, dan secara rutin aku mengobatinya tiga kali sehari selama beberapa bulan.

Pada sebuah minggu pagi yang cerah, delapan bulan setelah operasi pengangkatan tumor, tiba-tiba aku menemukan ada tonjolan tulang keluar dari bagian anus Rucil. Aku langsung melarikannya ke klinik untuk operasi darurat.

Sekali lagi, Rucil menunjukkan ketangguhannya. Ia bangun dari kondisi setelah dibius dan langsung cari sesuatu untuk dimakan. lalu naik ke kincirnya untuk sedikit olah raga, ahhh My lovely Rucil!

Malamnya, selera makannya tetap normal, dan Rucil bermain seperti biasa. Aku mengeluarkannya dari kandang, menyuapinya, dan dia pun tertidur di tanganku.

Tiga hari berlalu, di sebuah malam yang hening, aku menemukan Rucil terduduk lesu di pojok kandang dengan posisi seperti hamster sakit. Aku mengangkatnya dan mencium hidungnya. Telinganya terangkat, matanya meredup menahan sakit.

Saat itu aku tersadar, sampai kapan aku mampu mempertahankan hidup Rucil. Usianya sudah dua tahun lebih, jauh melampui usia rata-rata hamster mini. Setanguh-tangguhnya, dan sehebat-hebatnya Rucil, suatu saat dia akan "pergi" meninggalkan aku.

Tapi aku belum nyerah. Tak boleh menyerah! Aku langsung berangkat ke klinik. Aku berangkat dengan dua butir air bening di pelupuk mata yang nyaris jatuh ke pipiku.

Dokter menjelaskan kali ini Rucil mengalami apa yang dinamakan rectal prolapse, atau kondisi di mana rahim turun seiiring usia. Selain itu, ada masalah lain di paru-parunya. Semua merupakan penyakit usia tua. Kata dokter, kalo diukur dengan usia manusia, maka Rucil kini sudah berusia 100 tahun!

Sang dokter mengembalikan Rucil ke kandangnya, dan menuntunku ke sebuah kursi. Dokter berujar pelan: Sudahlah, kali ini akan lebih bijak kalau kamu merelakannya "pergi" dan mengambil keputusan mengakhiri penderitaannya.

Aku nyaris terlompat kaget mendengar kalimat sang dokter. Tapi dia mencoba menyakikan aku bahwa saat itu Rucil sangat menderita dan kesakitan. Rucil akan berterima kasih jika aku memutuskan mengakhiri penderitaannya.

Aku butuh waktu cukup lama untuk menimbang dan berpikir, sembari menatap Rucil yang kembali terbaring lesu kesakitan di pojok kandangnya. Aku tak lagi melihat tatapan "innocent" di matanya. Kali ini hanya mata yang meredup dan nyaris padam...

Aku bilang pada sang dokter: Tinggalkan kami sejenak. Kami akan "berbicara" sebentar dan menikmati waktu kebersamaan kami yang terakhir.

Aku mengangkat Rucil seperti biasa, ke depan wajahku. Aku mencium hidung dan keningnya. Tubuhnya semakin melemah, nyaris tak merespon.

Aku berbisik ke telinganya: "Rupanya sampai di sini kebersamaan kita sayang. Aku benar-benar sudah merelakanmu pergi. Tolong sampaikan salam pada dua anakmu yang telah lebih dulu di surga. Bilang pada mereka, bahwa kita akan berkumpul kembali kelak..."

Air mataku tumpah tak terbendung lagi. Aku dekap Rucil di pipiku. Air mataku membasahi sebagian tubuhnya. Aku mengangkat wajah, dan cahaya kecilku, Rucilku, benar-benar telah padam, pergi untuk selamanya...

Rucil telah tiada, tapi ia meningglkan begitu banyak kenangan. Kenangan akan keceriaan, kelucuan, bahkan perjuangan dan kesedihan yang mendalam.

Seminggu berlalu aku masih bisa merasakan bulu-bulu halusnya di pipiku. Aku masih bisa mendengar suara kincirnya yang kerap membangunkanku di malam hari. Dan wajahnya yang tak berdosa itu, benar-benar tak bisa hilang dari pandanganku.

Kini aku menyadari dan meyakini, bahwa apa yang sudah aku perbuat untuknya, sama sekali tidak sia-sia. Waktu kebersamaan dengannya, terutama 10 bulan setelah aku memutuskan untuk operasi pembedahan tumor, benar-benar sangat berharga.

Aku bersyukur telah mengambil keputusan itu. Karena aku belajar satu hal, bahwa ada yang tidak bisa diukur dengan uang. Itu adalah aime, liebe, love, cinta...!

(ditulis/diterjemahkan dari kisah Holly Wilcox asal California, AS)

0 Comment:

Post a Comment

 
Top